Dengan ini aku menyatakan bahwasanya, aku. Azka As-Syifa Fatonah (Acha) menghijrahkan cintaku kepada cinta-Nya yang lebih nyata kekekalannya. (Bengkulu, 16 Maret 2015).
Aku pikir awalnya jarak dan waktu tidak akan membuat hubungan kami bermasalah. Ya, hubungan tanpa status yang kujalani dengan lelaki yang usianya dua tahun lebih tua dari ku. selama berlangsungnya tahun 2014-2015 lalu. Nyatanya setelah hari kelulusan seragam abu-abunya, ia hilang tanpa kabar mengatakan jika ia pergi untuk melanjutkan hidupnya tanpa kuliah. Dan dia juga berkata ingin menenangkan pikiran dulu yang artinya tidak ingin diganggu hubungannya denganku untuk sementara waktu. Aku pikir waktu itu mungkin benar juga, lebih baik tidak contact terlebih dulu. Saat itu aku pun sedang sibuk dengan kegiatan sekolah ku dan great something. Itu sekitar tujuh bulan yang lalu. Namun, lama aku menyadari terasa begitu aneh jika ia tak ada sedikitpun memberiku kabar. Aku merasa ia menyembunyikan sesuatu dariku.
Beberapa minggu yang lalu, aku memastikan dia baik-baik saja melalui akun facebook miliknya. Berapa kali ku buka dan sempat menulis pesan pribadi yang tujuannya hanya untuk menyapa tapi ku urungkan niat. Hingga sampai pada hari kelima niat ku tak kunjung tersampaikan. Tapi, lewat kabar berita yang ia bagikan bisa saja orang lain menyimpulkan bahwa dia bersama wanita lain yang didambakan. Memang benar, jika mendengar gosip kalau lelaki itu menyukai rekan kerjanya satu perguruan karate dan merupakan anak fakultas kebidanan bernama Mufaisha. Gadis idola di kampus karena cantik dan kesalihannya. Mufaisha adalah anak yatim dari keluarga sederhana dan karena kecerdasannyalah ia mendapat beasiswa untuk mengenyam bangku kuliah.
Sontak setelah itu aku membandingkan Mufaisha dengan diriku. Seperti besi dengan intan permata. Berbeda jauh. Jelas saja, lelaki itu akan memilih Mufaisha.
Kabar lain yang ku dapat adalah perubahan lelaki itu ke arah yang lebih baik. Lebih baik di sini adalah perilaku dia jadi lebih alim. Aku menyimpulkan, bahwa lelaki itu berubah untuk bisa bersanding dengan Mufaisha.
Perempuan baik teruntuk pria baik juga, benar kan? Aku menghela napas kasar seraya meremas kertas yang ada di depan ku sewaktu itu. Tanpa sadar ada air mata yang jatuh, tetes demi tetesnya membasahi kertas dimeja ku.
Aku menoleh menatap fadillah . “Tumben ngajak main ke kantin,dil ? Kamu emang nggak sibuk? Udah ijin sama mas Akbar?” Perempuan berjilbab lebar warna coklat itu menyunggingkan senyumnya yang hangat. “Malah mas Akbar semangat banget buat ngizinin aku ke kantin sama kamu. Supaya kamu nggak stres, katanya” Fadillah tertawa pelan.
Aku menatap Fadillah dengan tatapan tajam. Lalu berikutnya aku mendapati perempuan itu nyengir lucu. “Aku rindu duduk bersama kamu di kantin dengan cerita kamu yang tiada habisnya untuk diceritakan. Aku mau dengerin curhatan kamu plus ngasih wejangan lagi buat kamu,” lanjut Fadillah penuh nasehat dan canda. Ah, Fadillah memang sahabatku yang paling mengerti.
Melihatnya dengan jilbab yang dibalut di kepala, begitu anggun terlihat. Aku berpikir kapan aku akan menyusul jejaknya? Apa kakak itu akan kembali padaku jika aku memakai jilbab, memperbaiki sifat manjaku dan sifat-sifat burukku yang lain? Ugh, tapi untuk saat ini aku belum berniat sama sekali menutup aurat.
Aku mendekat padanya dan memeluk dari samping. Lantas menggumam di dekatnya, “kamu beruntung ya, Dil. Impian kamu dari dulu udah terwujud, bisa ngobrol bareng, belajar bareng dan memilih ekstrakulikuler yang sama dengan lelaki yang saleh dan bisa membimbing kamu meraih surgamu nantinya.”
“Dulu malah, aku yang beranggapan kamu yang beruntung dibanding aku, Cha.” ujar Fadillah, tangannya bergerak menepuk pipiku pelan, perlahan tangannya bergerak mengusap rambut sebahuku. “Kapan kamu mau menutup aurat? Ayo, Cha berjuang sama-sama di jalan Allah sama aku. Aku nggak mau kamu nyesal di kemudian hari.”
Aku mendengus kecil, berjalan sedikit menjauh dari Fadillah lalu menatap langit. Jujur mataku berkaca-kaca saat ini. Entahlah kenapa masih ada sedikit ragu di hatiku.
Fadillah menepuk pundakku dari belakang. Ia menghela napas lalu berucap, “kamu tau kan cha, kalau menutup aurat itu diwajibkan?. Dulu … kamu pernah bilang padaku akan menyegerakan untuk menutup aurat? Kamu terlihat sangat cantik ketika mengenakan jilbab.”
Aku mengingat saat-saat waktu aku mengucap kalimat itu dulu. Rasanya cinta-Nya menyusup ke tulang-tulangku, menggetarkan jiwaku yang kosong bertahun-tahun mengisi kekosongan hidupku. Allah telah mengisi hatiku dengan cinta-Nya tanpa kusadari.
Aku berbalik badan menghadap pada Fadillah yang saat ini menatapku dengan mata berkaca. “Aak...ak..ak.. aku ragu, Dil. Aku takut nggak bisa istiqomah.”
Fadillah membacakan sebuah ayat Al-Qur’an. Aku sepertinya tahu ayat ini, ini … Surat Al-Ahzab ayat 59. Ayat yang menjelaskan penting dan wajibnya berjilbab bagi perempuan muslim. “Wahai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang Mukmin: Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka! Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu dan Allâh adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Aku langsung menubrukkan tubuhku pada Fadillah-memeluknya erat. Allah, aku sudah terlalu jauh darimu. Aku berbisik lirih di dekat telinganya, “aku mau berhijrah kayak kamu Dil. Tapi apa Allah mau menerimaku? Mau menerima keterlambatanku meraih keridhoan-Nya?”.
“Jangan meragukan kebesaran Allah Cha. Allah adalah sebaik-baiknya tempat kamu meminta”. Ucap Fadillah meyakinkan.
Allah juga Maha Pemaaf. Asalkan kamu bersungguh-sungguh, maka InsyaAllah, Allah akan memaafkanmu dan tidak ada kata terlambat bagi orang yang sungguh-sungguh bertaubat.”
Aku menatapnya sendu. “Terima kasih Dil, kamu sudah mau jadi sahabat yang mengerti aku. Selalu mengingatkanku ketika aku salah.”
Senyum tersungging di bibir Fadillah. “Nah begitu dong, kamu harus meniatkan diri kamu, kalau hijrah kamu ini lillahita’ala, ikhlas hanya karena Allah semata. Bukan untuk siapa pun yang lain, ikhlaskan lelaki itu Cha. Kalau jodoh nggak akan kemana.”
Fadillah mengeluarkan sebuah kain dari dalam tasnya. Saat ia mengulurkannya padaku, baru kutahu kalau itu adalah sebuah kerudung berwarna biru-sesuai warna favoritku. Ia mendekat dan mengenakan kerudung itu padaku. Aku tersenyum memegang kerudung yang kini menjulur panjang di atas perutku.
Aku menatap Fadillah dengan mantap. “Aku akan mencoba mengikhlaskan dia,” ucapku dengan nada suara bergetar menahan air mata. “Dengan ini pilihanku tidak akan salah. Aku … akan meneruskan sekolah ku dan menggapai semua mimpi dan cita-cita ku. Tanpa harus ku pikirkan lagi rasa cinta yang teramat dalam untuk kakak itu”
Fadillah menatapku bahagia dan menepuk lenganku yang dilapisi jaket coklat muda. Aku bisa merasakan kebahagiannya itu dari matanya yang menjadi pusat kejujurannya.
Sebuah salam memotong pembicaraanku dengan Fadillah. Aku membalikkan badan dan yang kudapati adalah lelaki yang selama ini selalu melintas dipikiranku dengan senyum lelaki itu yang kurindukan selama ini. Hampir saja aku berlari ke arahnya untuk memeluknya. Jika fadillah tidak berdeham keras menyadarkanku pada kenyataan.
“Wa’alaikumussalam. Menatap seseorang yang berlainan jenis dengan syahwat -rasa ingin memiliki- itu termasuk dalam zina-nya mata. Adalah zina seburuk-buruknya jalan.” Aku menatap Fadillah malu. Baru saja aku ingin berhijrah tetapi, aku sudah hampir melakukan kesalahan.
Aku segera menjawab salam tadi. Mataku menatapnya lurus. “H–hai!” sapaku dengan kaku. “Apa kabar?” Tatapannya kepada Fadillah seakan memberikan kode mengenai penampilanku. Itu terlihat sekilas ketika tatapannya lantas beralih padaku. Wajahnya terlihat sekali jika ada yang hendak dibicarakannya. Senyumnya terbit dengan kaku. “Baik.”
“Ah! Sepertinya kalian berdua butuh waktu untuk bicara. Melihat lelaki itu datang. aku akan meninggalkanmu bersamanya Cha. Ingat jangan melakukan hal aneh-aneh! Kau sudah berjanji padaku dan dirimu sendiri, ingat!” Fadillah pergi setelah mengucapkan salam.
Aku memilih duduk di bebatuan yang tak jauh dari tempat semula lelaki itu duduk mengikutiku.
“Ada yang ingin kubicarakan. Aku yakin kamu sudah tahu tentang...”
Bibirku bergetar dan tanpa sadar menyahut, “Ya, aku sudah tahu.”
“Maaf, Acha,” ucap lelaki itu. Kepalanya terangkat. Menerawang jauh ke langit. “Maaf selama ini aku telah menjadi pengecut. Maaf telah mengkhianatimu. Hatiku yang sempit terlalu takut menyakitimu Cha. Tapi aku tidak ingin bermunafik, kalau aku jatuh cinta pada kesalihannya. Maaf, aku tidak berharap kamu mau memaafkan aku karena aku memang tidak pantas untuk dimaafkan. Maaf telah menghilang di saat kamu butuh arahan dariku.
“Dan minggu depan … aku akan menikah. Aku harap kamu mau datang.”
Mataku berkaca-kaca mendengar ucapan lelaki itu. “Tidak apa kak. Aku sudah memaafkanmu. By the way, selamat ya. Semoga kakak bahagia dengan dia yang memang wanita pilihan kakak. Dia memang pantas untuk kakak. Aku ikhlas jika kakak bersamanya,” ucapku dengan senyum kaku. “Dan maaf aku tidak bisa datang. Jangan khawatir do’aku selalu menyertai pernikahan kalian. Do’a kan aku pula kak. Supaya aku bisa lebih baik dari sebelumnya.”
Allah, seperti inikah rasanya jatuh pada cinta yang salah? Allah, seperti inikah rasanya menjadi orang yang terbuang? Seperti inikah rasanya mencintai dengan cara yang salah? Tunjukkan padaku ya Allah, jalan-Mu! Beri aku kesempatan untuk rebah di peluk-Mu. Tunjukkan padaku, yang kata orang cinta-Mu lah yang sebenar-benarnya cinta. Kekal tanpa terbatasi oleh masa. Allah, aku inginkan cinta-Mu, izinkan aku berlutut menyerukan nama-Mu di antara cinta-Mu.
Sekeping cinta yang tersisa dari kesempurnaan cinta yang pernah aku hancurkan dalam diriku akan ku persembahkan untuk-Mu. Aku mencintainya, tapia Dia lebih mencintaiku. Semoga nanti aku dipertemukan dengan pasangan yang dipilihkan-Nya sesuai dengan apa yang aku impikan dalam setiap doa. Amin.
1 Komentar
ðŸ˜
BalasHapus